TENGGARONG – Rabu pagi itu, genangan air tak hanya menutupi halaman rumah warga di Tabang, tapi juga menyisakan kecemasan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Hujan deras yang mengguyur kawasan hulu dan luapan Sungai Belayan kembali memaksa warga hidup di tengah kepungan air, sebagian bahkan hanya bisa duduk di beranda menunggu bantuan datang.
Namun, kali ini ada yang berbeda. Perahu karet berisi tim tanggap darurat BPBD Kukar meluncur cepat menyusuri pemukiman, membawa logistik dan harapan. Mereka bukan hanya hadir untuk mengevakuasi, tapi juga untuk memastikan sistem penanganan bencana berjalan lebih sistemik.
“Banjir ini bukan yang pertama, dan tak akan jadi yang terakhir. Maka kita tidak bisa terus-terusan responsif. Kita harus bangun sistem,” tegas Abdal, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kukar, Rabu (9/4/2025).
Tim yang diterjunkan ke Tabang dilengkapi dengan perahu karet, kendaraan towing, serta bantuan logistik seperti makanan siap saji, tikar, selimut, dan air bersih. Fokus utama adalah menjangkau desa-desa yang terisolasi, memetakan kebutuhan korban, dan mengidentifikasi warga rentan seperti lansia, ibu hamil, dan balita.
Namun, tantangan utama bukan hanya tinggi genangan air. Akses jalan yang terbatas dan lemahnya sinyal komunikasi di sejumlah titik membuat distribusi bantuan tak bisa mengandalkan pemerintah semata. Dibutuhkan sinergi lintas sektor dan kolaborasi dengan relawan lokal serta aparat desa.
“Oleh karena itu, kami dorong penguatan komunikasi di lapangan. Semua harus tahu siapa melakukan apa, kapan, dan di mana,” tambah Abdal.
Untuk jangka panjang, BPBD Kukar sedang menyusun sistem Early Warning System berbasis komunitas. Masyarakat akan dilatih melalui program Desa Tangguh Bencana (Destana) agar dapat mendeteksi potensi banjir dan melakukan tindakan awal secara mandiri.
“Kita ingin warga Tabang tak lagi hanya menunggu. Mereka harus jadi bagian dari solusi,” tegas Abdal.
Bencana yang berulang ini menjadi cermin bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu global, tetapi kenyataan yang membanjiri halaman rumah. Dan di tengah tantangan itu, semangat gotong royong dan sistem penanganan yang terintegrasi adalah kunci untuk bertahan—dan bangkit. (adv/ed3)