Ali Husni: Kebun Warga Harus Diselamatkan dari Konflik IPPKH

tajukmedia.id

Ali Husni: Kebun Warga Harus Diselamatkan dari Konflik IPPKH
Petani kelapa sawit memuat tandan buah segar ke atas truk. (ilustrasi)

Tenggarong, Jumat 22 November 2024 – Ali Husni menatap hamparan kebun kelapa sawit di desanya dengan perasaan campur aduk. Bagi sebagian besar warganya di Desa Muai, Kecamatan Kembang Janggut, Kutai Kartanegara, kebun-kebun ini adalah segalanya—sumber penghidupan, pendidikan anak-anak, dan harapan masa depan. Namun kini, kebun-kebun itu terancam oleh tumpang tindih kepentingan antara petani dan perusahaan tambang batu bara yang memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).  

Selama bertahun-tahun, petani sawit di wilayah ini mengolah lahan dengan penuh keyakinan, tanpa menyadari bahwa sebagian besar dari kebun mereka masuk dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK), yang secara hukum tidak diperbolehkan untuk kegiatan budidaya kelapa sawit. Ketidaktahuan ini kini berujung pada sengketa lahan yang mengancam keberlanjutan hidup mereka.  

“Kami sangat khawatir. Jika lahan ini benar-benar diambil alih, banyak warga yang kehilangan mata pencaharian. Kebun ini bukan sekadar tanah, tapi nyawa bagi kami,” ujar Ali Husni, Kepala Desa Muai, dengan nada tegas.  

Ali Husni, yang telah menjabat selama dua periode, mengaku bahwa masalah ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya sosialisasi mengenai regulasi kawasan hutan. Namun, ia tidak ingin warganya hanya disalahkan. Sebagai pemimpin, ia berkomitmen untuk memperjuangkan hak masyarakatnya.  

“Kami akan berupaya mengembalikan status kawasan ini agar petani bisa tetap mengelola kebunnya. Itu tidak mudah, karena perubahan status lahan harus melalui proses panjang di tingkat pemerintah pusat,” jelasnya.  

Ali berharap, pendekatan dialog dapat menjadi solusi utama. “Kami ingin solusi yang adil, tidak hanya berpihak pada perusahaan. Harus ada keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan aturan hukum,” tambahnya.  

Bagi para petani, kelapa sawit adalah harapan terakhir. Dengan harga komoditas lain yang tidak stabil, kelapa sawit menawarkan pendapatan tetap. Kehilangan lahan ini berarti meruntuhkan ekonomi keluarga mereka.  

“Saya sudah mengelola kebun ini sejak 15 tahun lalu. Kalau ini diambil, bagaimana saya membayar sekolah anak saya?” keluh Salim, seorang petani yang menghadapi ancaman kehilangan lahan.  

Situasi ini mencerminkan dilema besar yang sering terjadi di kawasan-kawasan dengan potensi sumber daya alam melimpah, di mana masyarakat lokal sering kali kalah dalam perebutan akses terhadap tanah.  

Ali Husni mengusulkan agar pemerintah, perusahaan, dan masyarakat duduk bersama dalam mediasi terbuka. Menurutnya, mediasi yang melibatkan semua pihak adalah langkah terbaik untuk menemukan jalan keluar yang tidak merugikan satu pihak pun.  

“Kami butuh pendampingan dari pemerintah daerah dan pusat. Jangan biarkan masyarakat kecil ini berjuang sendirian. Jika ada mediasi yang terbuka dan adil, saya yakin solusi akan ditemukan,” ujarnya penuh harap.  

Meski jalan keluar terasa sulit, Ali menegaskan bahwa perjuangan ini belum berakhir. Ia mengajak seluruh pihak untuk melihat masalah ini dengan perspektif kemanusiaan dan mencari solusi yang berpihak pada keadilan.  

Konflik lahan di Kembang Janggut menjadi gambaran nyata betapa kompleksnya pengelolaan lahan yang melibatkan kepentingan industri, regulasi pemerintah, dan kebutuhan masyarakat. Jika semua pihak mau berkolaborasi, sengketa ini bisa menjadi titik awal perubahan sistem pengelolaan lahan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.  

Di tengah ancaman kehilangan kebun, Ali Husni dan warganya tetap menggenggam harapan. “Kami percaya, selama ada niat baik dari semua pihak, masalah ini bisa diselesaikan. Kami hanya ingin hidup dengan tenang di tanah kami sendiri,” tutupnya dengan nada penuh optimisme. (ADV/ED3)

Bagikan:

Tinggalkan komentar

Ads - Before Footer