TENGGARONG – Ketika malam turun di Tenggarong, denting musik dan sorak sorai warga menggantikan deru kendaraan. Di Simpang Odah Etam, tarian topeng dan alunan gamelan menari di antara senyum anak-anak dan sorot kamera ponsel. Inilah denyut baru kota: ruang yang hidup, terbuka, dan berpihak pada warganya.
Simpang Odah Etam (SOE) tak lagi sekadar jalur lalu lintas. Ia kini menjelma sebagai ikon budaya urban baru yang menyatukan ekspresi seni, ekonomi kreatif, dan kehidupan sosial dalam satu tarikan napas. Program aktivasi kawasan ini digarap Dinas Pariwisata Kukar sebagai bagian dari visi besar: menjadikan Tenggarong sebagai kota budaya modern yang inklusif dan berjiwa muda.
Plt Kepala Dispar Kukar, Arianto, menegaskan bahwa SOE bukan sekadar penataan fisik.
“Kami ingin kota ini punya ruang yang benar-benar dirasakan warganya. Di SOE, siapa pun bisa tampil, dari pelukis jalanan hingga komunitas reog. Ini bukan panggung milik segelintir, tapi milik semua,” ujarnya, Selasa (22/4/2025).
Letaknya yang strategis—berdekatan dengan Museum Mulawarman dan kawasan heritage lainnya—membuat SOE menjadi simpul baru dalam peta budaya kota. Setiap akhir pekan, kawasan ini diramaikan oleh pertunjukan seni tradisi, panggung musik anak muda, hingga bazar UMKM yang menyuguhkan kuliner dan produk lokal.
Lebih dari sekadar tontonan, warga menjadi bagian aktif dari narasi budaya ini. Anak-anak menari, remaja mendokumentasikan, orang tua bersantai menikmati suasana. Tenggarong, dalam bentuknya yang paling organik, sedang membangun identitasnya sendiri.
Dispar Kukar juga merancang integrasi antara SOE, Taman Titik Nol, dan Pujasera Menara Tuah Himba menjadi poros kreatif yang saling menghidupi. Di sinilah konsep kota budaya tidak lagi berdiri kaku di balik gedung, melainkan menyebar dalam ruang terbuka, di jalanan yang dipijak dan dirayakan bersama.
“Modernitas tidak harus melupakan tradisi. Justru dengan menyatukannya, kita bisa menciptakan kota yang membanggakan dan relevan,” tambah Arianto.
Program ini juga melibatkan komunitas kreatif sejak tahap perencanaan. Dari pelatihan promosi digital, produksi konten budaya, hingga kurasi pertunjukan, semuanya diupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik.
Langkah ini bukan akhir, melainkan awal dari perubahan yang lebih luas. Dispar Kukar menargetkan replikasi model ruang publik aktif seperti SOE ke kecamatan lain—agar tak hanya Tenggarong yang punya denyut budaya, tapi seluruh Kukar.
Dengan strategi ini, Tenggarong bergerak menuju masa depan sebagai kota budaya yang tak hanya indah di mata wisatawan, tetapi juga terasa hangat di hati warganya. (adv/ed3)